Oleh : Suryo Hanjono, S.Pd
Karakteristik matematika di antaranya adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak ini menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Siswa mengalami masalah secara komprehensif maupun secara parsial dalam matematika. Matematika menjadi sulit dipahami dan dimengerti. Matematika menjadi momok yang menakutkan bagi siswa. Kondisi ini menjadikan minat dan motivasi terhadap matematika tidak dapat tumbuh maksimal.
Variabel masalah kesulitan belajar matematika antara lain penggunaan metode, strategi belajar, alat peraga dan juga bisa dimungkinkan oleh karena pemilihan model pembelajaran yang dilakukan guru kurang tepat dengan kondisi yang ada.
“Rendahnya kemampuan siswa-siswa Indonesia di matematika, sains, dan membaca juga tercermin dalam Programme for International Student Assessment (PISA) yang mengukur kecakapan anak-anak berusia 15 tahun dalam mengimplementasikan pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia nyata. Indonesia telah ikut serta dalam siklus tiga tahunan penilaian tersebut, yaitu 2003, 2006, dan 2009. Hasilnya sangat memprihatinkan. Siswa-siswa Indonesia lagi-lagi secara konsisten terpuruk di peringkat bawah. Kita tunggu bersama hasil penilaian tahun 2012.”
Kasus kecil menjadi fatal yaitu ketika siswa belum memahami konsep perkalian dasar. Mengapa dengan perkalian? Perkalian merupakan konsep mendasar yang harusnya dikuasai siswa. Operasi hitung perkalian merupakan lanjutan materi penjumlahan di mana perkalian merupakan bentuk lain dari penjumlahan berulang. Perkalian sangat diperlukan untuk menyelesaikan masalah siswa di lingkungannya.
Fakta yang ada kemampuan siswa dalam hal operasi perkalian ternyata masih rendah. Terbukti ketika siswa pada sekolah jenjang lanjut menemui masalah pada pengerjaan hitung yang melibatkan perkalian yang lebih kompleks. Siswa cenderung tidak dapat mengambil satu cara berpikir praktis terhadap penyelesaian masalah perkalian yang dihadapinya. Artinya mereka belum bisa mendapatkan konsep mendasar tentang perkalian. Misalnya ketika siswa dihadapkan pada soal sederhana 56 x 5. Siswa mengerjakan hanya dengan cara bersusun pendek dan jarang ditemui kreativitas lain selain cara yang diberikan oleh gurunya. Mereka terjebak dalam satu lingkaran masalah dan sulit mengeluarkan dirinya dari masalah-masalah tersebut.
Hal ini dapat dihindari apabila siswa tersebut dapat menarik hal-hal praktis yang ada pada soal. Cara pengerjaan tidak hanya seperti yang pernah diajarkan guru. Langkah pengerjaan dapat dikembangkan sendiri olehnya sehingga mereka dapat menemukan langkah mana yang nyaman untuknya. Bisa saja dikerjakan dengan memanfaatkan sifat-sifat operasi perkalian yaitu distributif. Sebenarnya keadaan ini dapat dihindari apabila sejak dini telah tertanam konsep perkalian secara mantap. Kebermaknaan belajar materi perkalian harus benar-benar dipahami siswa.
Proses pembelajaran yang monoton tidak akan dapat menggali potensi-potensi yang ada pada individu siswa. Orientasi pengajaran cenderung memperlakukan siswa berstatus sebagai obyek, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; materi bersifat subject-oriented dan manajemen bersifat sentralis. Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktek pendidikan terisolir dari kehidupan nyata yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian.
Pembahasan
Pendekatan Matematika Realistik tidak dapat terpisahkan dari Institut Freudenthal. Pemberian nama institut ini diambil dari pendirinya yaitu Profesor Hans Freudenthal (17 September 1905 - 13 Oktober 1990). Hans Freudenthal adalah seorang penulis, pendidik dan matematikawan berkebangsaan Jerman.
Sejak tahun 1971 institut ini mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang kemudian dikenal dengan Realistic Mathematics Education (RME). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematika ke tingkat yang lebih formal. Model model yang muncul dari aktivitas matematika siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi. Lebih singkatnya Pengembangan Matematika realistik didasarkan pada pandangan Freudenthal terhadap matematika (Freudenthal, 1991) yang berpandangan sebagai berikut: (1) matematika harus dikaitkan dengan hal yang nyata bagi murid, dan (2) matematika harus dipandang sebagai suatu aktivitas manusia.
Pengertian pendekatan realistik menurut Sofyan, (2007: 28) “Sebuah pendekatan pendidikan yang berusaha menempatkan pendidikan pada hakiki dasar pendidikan itu sendiri”. Sedangkan Sudarman Benu, (2000: 405) “Pendekatan realistik adalah pendekatan yang menggunakan masalah situasi dunia nyata atau suatu konsep sebagai titik tolak dalam belajar matematika”.
Karakteristik Pendekatan Matematika Realistik
Pembelajaran matematika pada umumnya masih ditakuti oleh sebagian besar siswa di sekolah. Dalam proses pembelajaran Jamaika guru masih saja menjadi subjek belajar dan siswa hanya sebagai objek belajar. Paradigma lama tentang pembelajaran masih didominasi oleh paradigma lama di mana pembelajaran layaknya penyampaian pengumuman tanpa menggali potensi-potensi yang ada di sekitar lingkungan siswa. Paradigma tersebut mempunyai ciri-ciri sebagaimana yang disampaikan Y Marpaung dalam “Empat Tahun PMRI” sebagai berikut:
- guru aktif mentransfer pengetahuan ke pikiran siswa (guru mengajari siswa),
- siswa menerima pengetahuan secara pasif (murid berusaha menghafalkan pengetahuan yang diterima),
- pembelajaran dimulai oleh guru dengan menjelaskan konsep atau prosedur menyelesaikan soal, memberi soal-soal latihan pada siswa;
- memeriksa dan memberi skor pada pekerjaan siswa,
- memberi penjelasan lagi atau memberi tugas pekerjaan rumah pada siswa.
Lebih lanjut Y Marpaung menyampaikan bahwa karakteristik PMRI pada dasarnya diturunkan dari karakteristik RME (Realistic Mathematics Education) yang dikembangkan di Negeri Belanda sejak sekitar 35-40 tahun yang lalu berdasarkan ide Hans Freudenthal (seorang ahli matematika) yaitu bahwa matematika itu adalah kegiatan manusia (human activity) dan belajar matematika merupakan aktivitas mereinvensi pengetahuan (Freudenthal Institute, 1999). Dalam perkembangannya yang cukup panjang, ditemukanlah karakteristik RME.
Karakteristik Pendekatan Matematika Realistik setelah dikembangkan oleh tim PMRI USD menginterprestasikan dan mengembangkannya dalam kondisi sosial dan kultur Indonesia serta menjabarkannya sebagai berikut kemudian mencoba mempraktekkannya di kelas. Berikut adalah karakteristik PMRI:
- Murid aktif, guru aktif.
Menurut Freudenthal, penggagas pembelajaran realistik, matematika itu adalah aktivitas manusia (human activity). Itu berarti, bahwa ide-ide matematika ditemukan orang melalui kegiatan atau aktivitas. Aktif di sini berarti aktif berbuat (kegiatan tubuh) dan aktif berpikir (kegiatan mental). Jadi konsep-konsep matematika ditemukan lewat sinergi antara pikiran (fungsi otak, abstrak) dan tubuh (jasmani, konkret atau real). Indera kita menerima informasi (dari lingkungan: luar diri atau dalam diri kita sendiri), diteruskan ke otak, di sana diolah (refleksi) dan disimpan dalam memori jangka panjang kita (internalisasi), pada suatu saat di ambil lagi (dibawa ke ingatan jangka pendek, di recall) untuk diolah bersama informasi baru yang masuk (transformasi), lalu disimpan lagi (retained) dalam bentuk baru (retrukturisasi). Siswa bertanggung jawab tentang hasil belajarnya dan guru bertanggung jawab pada penciptaan kondisi belajar yang memungkinkan siswa belajar dengan baik.
- Memulai dengan Masalah yang Kontekstual/Realistik.
Siswa akan termotivasi untuk mempelajari matematika bila dia melihat dengan jelas bahwa matematika bermakna atau melihat manfaat matematika bagi dirinya. Dalam pembelajaran hendaknya memberikan fakta yang ada di sekitar lingkungan siswa sehingga siswa mendapatkan keadaan riil dan bukan keadaan semu. Contoh :
Perhatikan gambar 1 untuk menjawab pertanyaan berikut:
2. Hitunglah jumlah seluruh kaki kera tersebut?1. Berapa jumlah kera yang ada pada gambar?
3. Dan seterusnya.
Dengan demikian siswa disuguhkan keadaan yang dapat diamati (visual) sehingga akan terbentuk dengan sendirinya konsep matematika yang terdapat pada gambar tersebut.
- Berikan Kesempatan Pada Siswa Menyelesaikan Masalah Dengan Cara Sendiri.
Soal-soal yang diberikan kepada siswa berkaitan dengan dunia real atau bisa dibayangkan siswa dan merupakan soal terbuka atau soal yang cara menyelesaikannya tidak tunggal.
Dalam menyelesaikan masalah terdapat banyak cara. Beri kesempatan kepada siswa untuk mencari sebanyak-banyaknya cara sesuai dengan tingkat kemampuan tiap individu siswa sesuai dengan pengalamannya. Sebagaimana yang disampaikan Y Marpaung, guru tidak perlu mengajari siswa bagaimana cara menyelesaikan masalah. Mereka harus berlatih menemukan cara sendiri untuk menyelesaikannya. Soal yang diberikan pada siswa hendaknya tidak jauh dari skema yang sudah mereka miliki dalam pikirannya. Dalam keadaan tertentu guru dapat membantu siswa dengan memberikan sedikit informasi sebagai petunjuk arah yang dapat dipilih siswa untuk dilalui. Itu dapat dilakukan dengan bertanya atau memberi komentar. Itu pun sebisa mungkin dilakukan jika semua siswa tidak mempunyai ide bagaimana menyelesaikan masalah. Jika satu siswa mempunyai ide, hendaklah guru mendorong siswa tadi mensharingkan idenya kepada teman-temannya (interaksi).
- Guru Berusaha Menciptakan Suasana Pembelajaran Yang Menyenangkan.
Tugas guru adalah menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan siswanya. Dengan demikian siswa akan merasa dihargai, disanjung sehingga motivasi siswa untuk ikut larut dalam proses pembelajaran. Dampak lebih lanjut meningkatnya prestasi belajar siswa. Cara-cara lain untuk menciptakan kondisi yang menyenangkan perlu dipikirkan guru. Belajar sambil bermain, belajar dengan duduk di lantai, belajar dalam kelompok, belajar di luar kelas atau di luar sekolah, membuat ruangan menarik, dan sebagainya adalah beberapa cara lain untuk membuat suasana belajar yang menyenangkan.
- Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok (kecil atau besar).
Siswa diajarkan bekerja sama dalam kelompoknya sehingga akan lebih efektif dengan adanya sinergi antar anggota kelompok. Walaupun tidak dipungkiri karakter siswa ada yang lebih senang untuk bekerja sendiri (individual). Tetapi dengan sinergi dalam kelompok setidaknya memberikan pengajaran cara bersosialisasi dengan orang lain. Seringnya siswa berinteraksi dengan teman-temannya maka akan semakin tumbuh rasa sosialnya dan akan menyadarinya bahwasanya manusia perlu dan penting untuk berinteraksi.
- Pembelajaran Tidak Perlu Selalu Di Kelas.
Untuk memberikan suasana menyenangkan dan mengurangi rasa bosan siswa memerlukan variasi untuk merangsang organ-organ tubuh melakukan fungsinya dengan baik. Variasi ini juga dapat membuat suasana yang menyenangkan dalam belajar. Susunan tempat duduk yang tetap akan menimbulkan rasa bosan pada siswa. Selalu belajar di dalam kelas juga dapat menimbulkan motivasi berkurang sehingga sulit bagi siswa tersebut untuk dapat menyerap materi pembelajaran. Oleh karena itu guru harus mampu berkreasi untuk selalu melakukan variasi pembelajaran diantaranya adalah: variasi susunan tempat duduk, dekorasi kelas, penampilan guru, variasi metode pembelajaran, dan sebagainya.
- Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi.
Salah satu ciri penting PMRI ialah interaksi dan negosiasi. Siswa perlu belajar untuk mengemukakan idenya kepada orang lain, supaya mendapat masukan berupa informasi yang melalui refleksi dapat dipakai memperbaiki atau meningkatkan kualitas pemahamannya. Untuk itu perlu diciptakan suasana yang mendukung. Misalnya, jangan menghukum siswa jika membuat kesalahan dalam menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah, jangan menertawakan, tetapi menghargai pendapatnya.
- Siswa Bebas Memilih Modus Representasi Yang Sesuai Dengan Struktur Kognitifnya Sewaktu Menyelesaikan Suatu Masalah (Menggunakan Model).
Pemahaman siswa dapat diamati dari kemampuannya menggunakan berbagai modus reperesentasi (enaktif, ikonik atau simbolik) untuk membantunya menyelesaikan suatu masalah. Dalam pembelajaran matematika di SD hendaknya siswa tidak cepat-cepat dibawa ke level formal, tetapi diberi banyak waktu bermain dengan menggunakan benda-benda konkret atau model-model.
- Guru Bertindak Sebagai Fasilitator (Tut wuri Handayani).
Tugas guru sebagai fasilitator sehingga tidak diperlukan peran guru dalam mengajari siswa untuk mencapai tujuan. Guru dapat membimbing siswa jika mereka melakukan kesalahan atau tidak mempunyai ide dengan memberi motivasi atau sedikit arahan agar mereka dapat melanjutkan bekerja mencari strateginya menyelesaikan masalah.
Pembelajaran hendaknya dimulai dengan menyodorkan masalah kontekstual atau realistik yang tidak jauh dari skema kognitif siswa. Siswa diberi waktu menyelesaikannya dengan cara masing-masing, kemudian guru memberi siswa waktu menjelaskan strateginya kepada kawan-kawannya dan secara gradual membimbing siswa mencapai tujuan pembelajaran.
- Kalau Siswa Membuat Kesalahan Dalam Menyelesaikan Masalah Jangan Dimarahi Tetapi Dibantu Melalui Pertanyaan-Pertanyaan (motivasi).
Hukuman hanya menimbulkan efek negatif dalam diri siswa, tetapi motivasi, khususnya motivasi internal dan sikap siswa yang positif dapat membantu siswa belajar efektif. Perasaan senang dalam melakukan sesuatu membuat otak bekerja optimal.
Perasaan senang jelas tidak dapat dikembangkan lewat ancaman atau hukuman, tetapi dapat lewat sikap empatik, penghargaan atau pujian.
Mendidik anak bersikap santun adalah dengan memperlakukannya secara santun, mendidik anak bersikap terbuka adalah dengan menunjukkan kepadanya sikap keterbukaan.
Beberapa karakteristik pendekatan matematika realistik menurut Suryanto (2007) adalah sebagai berikut:
- Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual problems) digunakan untuk memperkenalkan ide dan konsep matematika kepada siswa.
- Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model matematika melalui pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan guru atau temannya.
- Siswa diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian terhadap masalah yang mereka temukan (yang biasanya ada yang berbeda, baik cara menemukannya maupun hasilnya).
- Siswa merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang telah dikerjakan dan apa yang telah dihasilkan; baik hasil kerja mandiri maupun hasil diskusi.
- Siswa dibantu untuk mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang memang ada hubungannya.
- Siswa diajak mengembangkan, memperluas, atau meningkatkan hasil-hasil dari pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip matematika yang lebih rumit.
- Matematika dianggap sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi atau hasil yang siap pakai. Mempelajari matematika sebagai kegiatan paling cocok dilakukan melalui learning by doing (belajar dengan mengerjakan).
Menurut Grafemeijer (dalam fitri, 2007: 13) ada 5 karakteristik pembelajaran matematika realistik, yaitu sebagai berikut:
1. Menggunakan masalah kontekstual
Masalah kontekstual berfungsi sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana matematika yang digunakan dapat muncul. Bagaimana masalah matematika itu muncul (yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari).
2. Menggunakan model atau jembatan
Perhatian diarahkan kepada pengembangan model, skema, dan simbolisasi dari pada hanya mentransfer rumus. Dengan menggunakan media pembelajaran siswa akan lebih paham dan mengerti tentang pembelajaran aritmetika sosial.
3. Menggunakan kontribusi siswa
Kontribusi yang besar pada saat proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi murid sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal ke arah metode yang lebih formal. Dalam kehidupan sehari-hari diharapkan siswa dapat membedakan penggunaan aritmetika sosial terutama pada jual beli. Contohnya: harga baju yang didiskon dengan harga baju yang tidak didiskon.
4. Interaktivitas
Negosiasi secara eksplisit, intervensi, dan evaluasi sesama murid dan guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif di mana strategi informal siswa digunakan sebagai jembatan untuk mencapai strategi formal. Secara berkelompok siswa diminta untuk membuat pertanyaan kemudian diminta mempresentasikan di depan kelas sedangkan kelompok yang lain menanggapinya. Di sini guru bertindak sebagai fasilitator.
5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya (bersifat holistik)
Aritmetika sosial tidak hanya terdapat pada pembelajaran matematika saja, tetapi juga terdapat pada pembelajaran yang lainnya, misalnya pada akuntansi, ekonomi, dan kehidupan.
Tujuan Pembelajaran Matematika Realistik
Tujuan Pembelajaran Matematika Realistik sebagai berikut:
- Menjadikan matematika lebih menarik,relevan dan bermakna, tidak terlalu formal dan tidak terlalu abstrak.
- Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa.
- Menekankan belajar matematika “learning by doing”.
- Memfasilitasi penyelesaian masalah matematika tanpa menggunakan penyelesaian yang baku.
- Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika.
Prinsip- prisip Pembelajaran Realistik
Terdapat 5 prinsip utama dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:
- Didominasi oleh masalah- masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai sumber dan sebagai terapan konsep matematika.
- Perhatian diberikan pada pengembangan model”situasi skema dan simbol”.
- Sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif.
- Interaktif sebagai karakteristik diproses pembelajaran matematika.
- Inter winning (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan.
Gravemeijer (dalam Fitri. 2007: 10) menyebutkan tiga prinsip kunci dalam pendekatan realistik, ketiga kunci tersebut adalah:
- Penemuan kembali secara terbimbing/matematika secara progresif (Guided Reinvention/Progressive matematizing). Dalam menyeleseikan topik-topik matematika, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama, sebagai konsep-konsep matematika dikemukakan. Siswa diberikan masalah nyata yang memungkinkan adanya penyelesaian yang berbeda.
- Didaktik yang bersifat fenomena (didacticial phenomenology) topik matematika yang akan diajarkan diupayakan berasal dari fenomena sehari-hari.
- Model yang dikembangkan sendiri (self developed models) dalam memecahkan “contextual problems”, mahasiswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri. Pengembangan model ini dapat berperan dalam menjembatani pengetahuan informal dan pengetahuan formal serta konkret dan abstrak.
Hakikat Pembelajaran Matematika di SD
a. Klasifikasi Pembelajaran Matematika
Treffers (Zulkardi, 2001) mengklasifikasikan pendidikan matematika berdasarkan matematika horizontal dan vertikal ke dalam empat tipe sebagai berikut. 1) Mekanistik, pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan tradisional yang didasarkan pada drill and practice dan pola. Pendekatan ini menganggap siswa sebagai sebuah mesin (mekanik). 2) Empiristik, pendekatan ini menganggap bahwa dunia adalah realistis, yang membuat siswa dihadapkan pada sebuah situasi yang mengharuskan mereka menggunakan aktivitas matematisasi horizontal. 3) Strukturalistik, pendekatan ini didasarkan pada teori himpunan dan permainan yang bisa dikategorikan ke dalam matematisasi horizontal. Tetapi ditetapkan dari dunia yang dibuat sesuai dengan kebutuhan, yang tidak ada kesamaannya dengan dunia siswa. 4) Realistik, yaitu pendekatan yang menggunakan situasi dunia nyata atau suatu konteks sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Pada tahap ini siswa melakukan aktivitas matematisasi horizontal, yaitu pada saat siswa mengorganisasikan masalah dan mencoba mengidentifikasi aspek matematika yang ada pada masalah tersebut. Kemudian, dengan menggunakan matematisasi vertikal siswa sampai pada tahap pembentukan konsep.
b. Pembelajaran Matematika di SD
Proses belajar akan dirasakan bermakna jika peserta didik terlibat langsung dan melakukan aktivitas belajar. Hal ini sesuai dengan teori belajar yang dikemukakan oleh David Ausubel (Maulana, 2008b: 66) “Belajar bermakna adalah belajar untuk memahami apa yang sudah diperolehnya, untuk kemudian dikaitkan dan dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajar lebih mengerti.”
c. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR serta dengan memperhatikan pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah disusun suatu langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan PMR yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
Langkah 1 : Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari kepada siswa dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut, serta memberi kesempatan kepada siswa untuk menanyakan masalah yang belum di pahami. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.
Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual
Apabila dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.
Langkah 3 : Menyelesaikan masalah
Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model.
Langkah 4 : Membandingkan jawaban
Guru meminta siswa membentuk kelompok secara berpasangan dengan teman sebangku, bekerja sama mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah diselesaikan secara individu (negosiasi, membandingkan, dan berdiskusi). Guru mengamati kegiatan yang dilakukan siswa, dan memberi bantuan jika dibutuhkan.
Dipilih kelompok berpasangan, dengan pertimbangan efisiensi waktu. Karena di sekolah tempat pelaksanaan ujicoba, menggunakan bangku panjang. Sehingga kelompok dengan jumlah anggota yang lebih banyak, membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pembentukannya. Sedangkan kelompok berpasangan tidak membutuhkan waktu, karena siswa telah duduk dalam tatanan kelompok berpasangan. Setelah diskusi berpasangan dilakukan, guru menunjuk wakil-wakil kelompok untuk menuliskan masing-masing ide penyelesaian dan alasan dari jawabannya, kemudian guru sebagai fasilitator dan moderator mengarahkan siswa berdiskusi, membimbing siswa mengambil kesimpulan sampai pada rumusan konsep/prinsip berdasarkan matematika formal (idealisasi, abstraksi). Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi.
Langkah 5 : Menyimpulkan
Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu rumusan konsep/prinsip dari topik yang dipelajari. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah adanya interaksi antar siswa dengan guru.
Kelebihan dan kelemahan pembelajaran matematika realistik
Beberapa keunggulan dari pembelajaran matematika realistik antara lain:
- Pelajaran menjadi cukup menyenangkan bagi siswa dan suasana tegang tidak tampak.
- Materi dapat dipahami oleh sebagian besar siswa.
- Alat peraga adalah benda yang berada di sekitar, sehingga mudah didapatkan.
- Guru ditantang untuk mempelajari bahan.
- Guru menjadi lebih kreatif membuat alat peraga.
- Siswa mempunyai kecerdasan cukup tinggi tampak semakin pandai.
Beberapa kelemahan dari pembelajaran metematika realistik antara lain:
- Sulit diterapkan dalam suatu kelas yang besar (40- 45 orang).
- Dibutuhkan waktu yang lama untuk memahami materi pelajaran.
- Siswa yang mempunyai kecerdasan sedang memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu memahami materi pelajaran.
Penanaman konsep perkalian pada siswa SD kelas rendah
Materi perkalian merupakan materi lanjutan dari materi penjumlahan. Perkalian merupakan penjumlahan berulang. Dalam mengajarkan materi perkalian sesuai dengan uraian di atas hendaknya dikemas dalam suatu kemasan yang dapat menimbulkan motivasi siswa untuk larut dan senang terhadap perkalian.
Dalam pendekatan realistik mengedepankan keadaan yang dapat divisualisasi oleh siswa sehingga dapat memberikan gambaran nyata terhadap objek yang dipelajari. Agar dapat menemukan sendiri konsep perkalian, hendaknya guru bukan bertindak sebagai pemberi informasi, tetapi guru sebagai fasilitator, motivator sekaligus teman bagi siswanya. Guru seyogyanya dapat, mengarahkan siswa memanfaatkan benda-benda di sekitarnya sebagai bahan pelajaran.
Daftar Kegiatan Untuk Setiap Pelajaran.
- Guru mengarahkan siswanya menyebutkan contoh-contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan perkalian.
- Membuat model yang mendekati peristiwa sehari-hari.
- Membuat struktur bilangan perkalian.
Kegiatan tersebut di atas dapat dilakukan dengan cara :
a. Permainan mencari teman
b. Permainan berbaris
c. Menghitung benda-benda di kelas
d. Menyusun benda-benda yang belum restruktur menjadi restruktur
e. Menghitung gambar restruktur
Kegiatan 1 : Permainan mencari teman
Tujuan : Siswa dapat menemukan konsep pengelompokan.
Media : siswa
Pengelolaan kelas : Siswa membentuk lingkaran besar kemudian membuat lingkaran kecil sesuai dengan petunjuk guru.
Kegiatan siswa : Siswa membuat lingkaran besar, kemudian berjalan-jalan berkeliling sambil bernyanyi. Diakhiri lagu guru menentukan jumlah anggota lingkaran kecil yang harus dibuat oleh siswa. Kemudian siswa mencari teman sesuai dengan jumlah yang disampaikan oleh guru.
Pengetahuan prasyarat
Awal : Siswa diarahkan untuk keluar kelas. Guru menjelaskan cara permainan mencari teman, yaitu: 1. Membentuk lingkaran besar, 2. Menyanyi bersama sambil berjalan keliling, 3. Membentuk kelompok kecil, jumlahnya sesuai dengan bilangan yang ditentukan, 4. Siswa yang tidak mendapat teman, diberi hukuman menghitung.
Refleksi : Guru bertanya pada siswa yang beri hukuman, misalnya dengan pertanyaan: Berapa banyak kelompok yang terbentuk?; Berapa jumlah anggota tiap kelompok?; Bagaimana cara menghitung? Dari kegiatan ini guru memberi kesimpulan dan dapat memberikan kegiatan selanjutnya.
Penjelasan :
Dari kegiatan 1, secara tidak sadar siswa telah dibawa ke dalam kondisi permainan yang sangat lekat dengan kehidupan siswa tersebut. Guru dapat memberikan materi inti tentang perkalian dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada siswa.
Dengan suasana bentukan guru yang menyenangkan bagi siswa juga dengan memberikan kegiatan yang juga sering dilakukan siswa di lingkungannya (riil) maka konsep perkalian ini dapat dengan mudah diserap dan dipahami oleh siswa. Jika dibandingkan dengan pemberian materi perkalian dengan cara menyampaikannya di depan kelas, hanya dengan ceramah dan menuliskannya di papan tulis, maka dapat dipastikan bahwa dengan pendekatan realistik akan lebih unggul dan lebih maksimal dalam menggali potensi-potensi siswa.
Ditinjau dari karakteristik ke-7 tersebut di atas, guru dapat memberikan kesempatan kepada siswanya untuk saling beriteraksi dan bernegosiasi sesama siswa sehingga karakter sosial siswa juga akan terbentuk. Lebih lanjut lagi pada karakteristik ke-9, guru hanya bertindak sebagai fasilitator. Sebagai fasilitator guru tidak menjadi subjek belajar, siswalah yang menjadi subjek belajar yang dapat menemukan konsep belajar dengan sendirinya. Peran guru menjadi ringan dan mendapatkan hasil lebih menyenangkan.
Ketika siswa melakukan kesalahan bukan hukuman negatif yang diberikan sehingga tidak menurunkan mental siswa. Justru hukuman positif yang diberikan akan merangsang siswa untuk lebih memahami aturan yang telah ditetapkan. Selain hal tersebut siswa dapat belajar disiplin pada ketentuan-ketentuan yang telah dibuat dan disampaikan oleh guru.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pendekatan matematika realistik dapat memberikan pemahaman terhadap penguasaan konsep suatu materi pada siswa. Dengan pendekatan ini siswa termotivasi untuk ikut serta dalam proses pembelajaran yang pada akhirnya akan berdampak positif terhadap hasil belajarnya. Pencapaian tujuan pembelajaran akan semakin mudah dicapai.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hal sebagai berikut.
- Penanaman konsep perkalian pada Siswa SD Kelas Rendah dapat dilakukan menggunakan pendekatan PMRI.
- Guru senantiasa harus mempunyai kreativitas dalam rangka pencapaian tujuan dengan merancang pembelajaran menggunakan pendekatan PMRI.
- Bahan belajar siswa dapat digali dari lingkungan sekitar siswa dengan mudah dan melibatkan siswa dalam pembelajaran.
- Potensi siswa muncul seiring dengan tingkat kemampuan kognitif siswa sendiri.
- Siswa dapat menemukan konsep perkalian dengan sendirinya dengan bantuan minimal guru.
- Kegiatan dapat dirancang seluas-luasnya untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa.
Saran
Berangkat dari uraian tersebut, maka terdapat beberapa saran yang perlu disampaikan.
- Guru matematika khususnya guru SD perlu terus meningkatkan wawasan dan pemahaman terhadap model, pendekatan, metode belajar yang efektif agar tujuan pembelajaran dapat tercapai yang berdampak pada meningkatnya motivasi siswa dalam pembelajaran dan akhirnya pada meningkatnya prestasi hasil belajarnya.
- Diperlukan eksplorasi lebih lanjut guna menggali potensi-potensi siswa dengan memberikan kegiatan-kegiatan belajar dengan menggunakan Pendekatan Matematika Realistik.
No comments:
Post a Comment