Oleh : Suryo Hanjono, S.Pd
Karakteristik matematika di antaranya adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak ini menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Siswa mengalami masalah secara komprehensif maupun secara parsial dalam matematika. Matematika menjadi sulit dipahami dan dimengerti. Matematika menjadi momok yang menakutkan bagi siswa. Kondisi ini menjadikan minat dan motivasi terhadap matematika tidak dapat tumbuh maksimal.
Variabel masalah kesulitan belajar matematika antara lain penggunaan metode, strategi belajar, alat peraga dan juga bisa dimungkinkan oleh karena pemilihan model pembelajaran yang dilakukan guru kurang tepat dengan kondisi yang ada.
“Rendahnya kemampuan siswa-siswa Indonesia di matematika, sains, dan membaca juga tercermin dalam Programme for International Student Assessment (PISA) yang mengukur kecakapan anak-anak berusia 15 tahun dalam mengimplementasikan pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia nyata. Indonesia telah ikut serta dalam siklus tiga tahunan penilaian tersebut, yaitu 2003, 2006, dan 2009. Hasilnya sangat memprihatinkan. Siswa-siswa Indonesia lagi-lagi secara konsisten terpuruk di peringkat bawah. Kita tunggu bersama hasil penilaian tahun 2012.”
Kasus kecil menjadi fatal yaitu ketika siswa belum memahami konsep perkalian dasar. Mengapa dengan perkalian? Perkalian merupakan konsep mendasar yang harusnya dikuasai siswa. Operasi hitung perkalian merupakan lanjutan materi penjumlahan di mana perkalian merupakan bentuk lain dari penjumlahan berulang. Perkalian sangat diperlukan untuk menyelesaikan masalah siswa di lingkungannya.
Fakta yang ada kemampuan siswa dalam hal operasi perkalian ternyata masih rendah. Terbukti ketika siswa pada sekolah jenjang lanjut menemui masalah pada pengerjaan hitung yang melibatkan perkalian yang lebih kompleks. Siswa cenderung tidak dapat mengambil satu cara berpikir praktis terhadap penyelesaian masalah perkalian yang dihadapinya. Artinya mereka belum bisa mendapatkan konsep mendasar tentang perkalian. Misalnya ketika siswa dihadapkan pada soal sederhana 56 x 5. Siswa mengerjakan hanya dengan cara bersusun pendek dan jarang ditemui kreativitas lain selain cara yang diberikan oleh gurunya. Mereka terjebak dalam satu lingkaran masalah dan sulit mengeluarkan dirinya dari masalah-masalah tersebut.
Hal ini dapat dihindari apabila siswa tersebut dapat menarik hal-hal praktis yang ada pada soal. Cara pengerjaan tidak hanya seperti yang pernah diajarkan guru. Langkah pengerjaan dapat dikembangkan sendiri olehnya sehingga mereka dapat menemukan langkah mana yang nyaman untuknya. Bisa saja dikerjakan dengan memanfaatkan sifat-sifat operasi perkalian yaitu distributif. Sebenarnya keadaan ini dapat dihindari apabila sejak dini telah tertanam konsep perkalian secara mantap. Kebermaknaan belajar materi perkalian harus benar-benar dipahami siswa.
Proses pembelajaran yang monoton tidak akan dapat menggali potensi-potensi yang ada pada individu siswa. Orientasi pengajaran cenderung memperlakukan siswa berstatus sebagai obyek, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; materi bersifat subject-oriented dan manajemen bersifat sentralis. Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktek pendidikan terisolir dari kehidupan nyata yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian.