SD N 02 Selokaton, Kec. Gondangrejo, Kab. Karanganyar, Prov. Jawa Tengah >>> ”TERWUJUDNYA SISWA SDN 02 SELOKATON YANG TAQWA UNGGUL HANDAL TANGGAP IPTEK DAN BERKARAKTER PANCASILA”>

Thursday, April 9, 2015

PENTINGNYA NILAI-NILAI BUDAYA JAWA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER BAGI ANAK

PENTINGNYA NILAI-NILAI BUDAYA JAWA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER BAGI ANAK

Saliman, S.Pd
Guru SDN 02 Selokaton Kec. Gondangrejo
Kab. Karanganyar, Jawa Tengah

PENDAHULUAN


Setiap orang tua pasti menginginkan anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang berkepribadian dan berkarakter. Mengingat anak seperti kertas putih tinggal bagaimana orangtua memberikan motif dan gambar pada kertas tersebut. Dengan demikian perkembangan anak tersebut sangat tergantung dengan kondisi lingkungan di sekitarnya terutama lingkungan keluarga. Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak akan tumbuh dan berkembangan dengan baik, tidak saja cukup mengandalkan potensi yang dibawanya secara genetik akan tetapi juga sangat ditunjang oleh faktor lain yaitu lingkungannya sebagaimana dinyatakan oleh John Lock (1632-1704) melalui teori empirismenya yang beranggapan bahwa “manusia lahir dalam keadaan tabularasa, putih bersih bagaikan kertas yang belum ditulisi. Lingkunganlah yang membentuk seseorang menjadi manusia seperti dia pada waktu dewasa” (Irwanto, 2012: 212).



Budaya jawa sebagai sumber pendidikan karakter tidak perlu diragukan lagi keberadaannya, karena dalam budaya jawa syarat akan pendidikan nilai yang merupakan substansi utama dari pendidikan karakter. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam budaya jawa terkandung tata nilai kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa, toleransi, kasih sayang, gotong royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterima kasih, dan lainnya. Pendidikan karakter yang digali dari substansi budaya jawa dapat menjadi pilar pendidikan budi pekerti bangsa.



Pendidikan karakter sebagai pilar pendidikan budi pekerti bangsa, dewasa ini menjadi sangat penting, karena pendidikan karakter sangat menentukan kemajuan peradaban bangsa, yang tak hanya unggul, tetapi juga bangsa yang cerdas. Keunggulan suatu bangsa terletak pada pemikiran dan karakter. Kedua jenis keunggulan tersebut dapat dibangun dan dikembangkan melalui pendidikan. Oleh karena itu, sasaran pendidikan bukan hanya kepintaran dan kecerdasan (pemikiran), tetapi juga moral dan budi pekerti, watak, nilai, dan kepribadian yang tangguh, unggul dan mulia (karakter). Dengan kata lain, antara pemikiran dan karakter harus menjadi kesatuan yang utuh.




PEMBAHASAN

Keluarga jawa pada umumnya mulai mendidik anak-anaknya pada anak tersebut belum lahir, yaitu dengan cara tidak langsung dari ibunya. Wujud pendidikan itu pada umumnya melalui berbagai larangan atau keharusan yang harus dijalankan oleh ibu yang sedang hamil tidak boleh makan-makanan sembarangan, tidak boleh mengatakan kata-kata jelek, tidak boleh membunnuh binatang dan tidak boleh marah. Karena keyakinan dalam budaya orang jawa perilaku ibu pada saat mengandung akan turun pada anaknya sehingga para ibu yang sedang mengandung sehati-hati mungkin dalam berbuat supaya anaknya juga mewarisi sifat dari ibunya.

Dalam falsafah orang jawa dikenal dengan istilah mendhem jero mikul dhuwur, anak molah bapa kepradhah, yang berarti menimbun yang dalam dan memikul yang tinggi, anak yang berbuat bapak yang bertanggung jawab. Sehingga dalam falsafah hidup orang jawa harus mendidik anak supaya anak mempunyai kepribadian yang baik seperti:

1. Menanamkan Nilai Religius, eling sangkan paraning dumadi

Manusia Jawa berkeyakinan bahwa urip ana sing nguripake (hidup ada yang menghidupkan) dan suatu saat akan kembali kepada yang menghidupkan, yaitu Tuhan. Oleh karena manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, maka manusia harus bersiap untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama hidup. Nasihat eling sangkan paraning dumadi menjadi pengingat agar manusia selalu menjaga sikap dan perbuatan di dunia karena kelak akan diminta pertanggung jawabannya di hadapan Tuhan. Sehingga dalam menjalani hidup manusia Jawa akan senantiasa golek dalan padhang, berbuat lurus, tidak melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan. Sikap-sikap tersebut menunjukkan religiusitas masyarakat Jawa.

2. Urip samadya
Dalam menjalani hidup, orang Jawa memegang prinsip urip samadya. Dengan sikap samadya manusia akan dapat mengukur kemampuannya, tidak memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang tidak mungkin diraihnya. Sikap hidup samadya menjauhkan seseorang dari perbuatan yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Prinsip hidup ini juga melahirkan sikap nrima ing pandum, menerima segala yang diberikan Yang Maha Kuasa. Namun demikian, tidak berarti sikap hidup samadya dan nrima ing pandum ini diisi dengan bermalas-malasan, tanpa mau berusaha.

3. Memiliki watak rereh, ririh, dan ngati-ati.
Rereh, artinya sabar dan bisa mengekang diri. Ririh, artinya tidak tergesa-gesa dalam bertindak, mempunyai pertimbangan matang untuk sebuah tindakan dan keputusan. Ngati-ati, artinya berhati-hati dalam bertindak (Budiono Herusatoto, 2000: 83). Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati, berarti manusia dapat menguasai dirinya, menguasai nafsunya. Manusia akan sempurna bila dapat menguasai nafsu. Sementara itu, orang yang dikuasai nafsu akan berbahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati tentu akan dapat melahirkan penyelesaian yang baik.

4. Menjauhkan diri dan membenci watak adigang, adigung, adiguna.

Watak adigang adalah watak sombong, karena mengandalkan kekayaan dan pangkat. Watak adigung adalah watak sombong karena mengandalkan kepandaian dan kepintaran, lantas meremehkan orang lain. Watak adiguna adalah watak sombong karena mengandalkan keberanian dan kepintaran berdebat (Budiono Herusatoto, 2000: 83). Sikap ini menjadikan seseorang bersikap sapa sira sapa ingsun, yang merupakan gambaran sikap sombong. Oleh karena itu, sikap-sikap ini harus dihindari. Seseorang justru harus bersikap ramah dan menghargai sesama manusia. Jangan berlaku seolah-olah menjadi manusia yang ”paling”.

5. Aja dumeh

Kata yang singkat ini mengandung ajaran yang sangat luas. Kata ini dapat diterapkan dalam berbagai sikap dan perbuatan, misalnya aja dumeh pinter, aja dumeh kuasa, aja dumeh kuwat, dan sebagainya. Aja dumeh sangat dekat dengan watak adigang, adigung, adiguna. Aja dumeh mengandung maksud “jangan mentang-mentang”. Sikap hidup aja dumeh akan membawa seseorang pada sikap rendah hati, sederhana, tidak merasa “paling” dibandingkan dengan orang lain di sekitarnya.

6. Mawas diri

Mawas diri adalah tindakan untuk melihat ke dalam diri sendiri, mengukur nilai dan kemampuan diri. Dengan mawas diri seseorang akan selalu berupaya melihat kekurangan diri sendiri. Sikap ini menjauhkan seseorang dari sikap merasa paling benar, sehingga tumbuh rasa saling menghargai sesama. Menyadari bahwa diri tidak sempurna akan membuat seseorang menjadi tidak mudah mencela orang lain. Mawas diri menjauhkan seseorang dari sikap sombong.

7. Tepa slira

Tepa slira berarti tenggang rasa, tolerasi, menghargai orang lain, nepakke awake dhewe. Apabila kita merasa senang dan bahagia jika orang lain berperilaku baik kepada kita, maka hendaknya kita juga berusaha bersikap baik terhadap orang lain (Heru Satoto, 2000:94). Tepa slira adalah sikap individu untuk mengontrol pribadinya berdasarkan kesadaran diri. (Franz Magnis Suseno, 2001: 61) Wujud sikap tepa slira adalah sikap menjaga hubungan baik dengan sesama sebagai anggota masyarakat. Seseorang yang memiliki sikap tepa slira tidak akan mburu menange dhewe, nggugu karepe dhewe, dan nuhoni benere dhewe. Bila sikap tepa slira ini bisa dimiliki oleh setiap orang maka akan tercipta kerukunan dalam masyarakat sehingga kehidupan akan lebih damai.

8. Unggah-ungguh

Unggah-ungguh merupakan salah satu bentuk etika atau sikap manusia Jawa dalam menempatkan diri ketika bergaul dengan sesamanya. Seseorang yang memiliki dan memahami sikap unggah-ungguh akan mengetahui bagaimana cara bergaul dan berperilaku dengan orang yang lebih muda, sederajat, lebih tua, atau yang memiliki jabatan tertentu, bahkan dalam situasi tertentu. Dengan menerapkan unggah-ungguh dalam bergaul maka akan tercipta hubungan yang harmonis. Seseorang yang memiliki unggah-ungguh akan dapat menempatkan diri dalam menjalin pergaulan dengan orang lain sesuai dengan tempat dan situasinya, empan papan. Istilah lain unggah-ungguh adalah suba sita.

9. Jujur

Jujur merupakan karakter yang sifatnya universal. Masyarakat Jawa pun menganggap sikap jujur sebagai etika yang harus dipegang teguh dan dimiliki oleh setiap orang Jawa. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan Jawa seperti, jujur bakal mujur, artinya orang yang jujur akan mendapatkan keberuntungan. Kebalikannya adalah goroh growah, yaitu orang yang berbohong akan mendapat kerugian. Akhir-akhir ini, ungkapan jujur bakal mujur sering diplesetkan menjadi jujur bakal ajur atau jujur bakal kojur. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat dewasa ini sering terjadi fenomena orang yang berperilaku jujur malah tidak beruntung, sementara yang tidak jujur malah beruntung. Melihat kondisi ini maka perlu dipahamkan bahwa keberuntungan yang didapatkan oleh orang jujur sesungguhnya tidak serta merta dan tidak hanya bersifat fisik. Artinya keberuntungan itu bisa jadi baru didapatkannya kelak dan hanya bisa dirasakan oleh batin. Oleh karena itu, sikap jujur jangan sampai ditinggalkan dan tetap yakin bahwa becik ketitik ala ketara, kebaikan akan terlihat dan keburukanpun akan tampak nyata.

10. Rukun

Hidup rukun selalu menjadi dambaan manusia yang hidup bermasyarakat. Demikian pula pada masyarakat Jawa yang juga mendambakan kehidupan yang selalu cinta damai. Cinta damai dapat terwujud jika antarsesama anggota masyarakat tersebut dapat hidup rukun. Sehingga dalam masyarakat Jawa terdapat ungkapan rukun agawe santosa, yaitu bahwa hidup rukun sesama manusia akan membuat kehidupan menjadi sentosa.

11. Kerja keras

Manusia Jawa tidak boleh lalai untuk selalu berupaya mencukupi kebutuhannya. Oleh karena itu manusia Jawa harus senantiasa bekerja keras akan mampu hidup mandiri dan layak tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain. Sikap hidup semacam ini tercermin dalam ungkapan Jawa sapa ubet, ngliwet yaitu siapa yang kreatif dalam berusaha mencari rezeki, maka pasti akan mendapatkan hasilnya. Di samping itu, dalam bekerja manusia Jawa juga berprinsip bahwa bekerja tidak melihat pada besar kecilnya hasil yang harus diperoleh, tetapi lebih mementingkan apa yang harus dikerjakan. Hasil menjadi perkara belakangan, sebagaimana ungkapan sepi ing pamrih, rame ing gawe. Etos kerja ini sangat luar biasa karena menunjukkan semangat pengabdian yang besar. Orang yang bekerja dengan semangat pengabdian ini sangat diperlukan dalam membangun bangsa.

13. Tanggung jawab

Tanggung jawab merupakan sikap yang juga harus dimiliki oleh manusia Jawa. Sehingga dalam masyarakat Jawa ditemukan juga ungkapan tinggal glanggang colong playu yang arti harfiahnya meninggalkan gelanggang dan secara diam-diam melarikan diri. Ungkapan ini merupakan sindiran bagi seseorang yang suka lepas tangan, cuci tangan dari tanggung jawab yang seharusnya diembannya. Oleh karena itu, perilaku tinggal glanggang colong playu harus dihindari karena merupakan perilaku negatif dan jauh dari sikap ksatria sejati.

14. Rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib hangrungkebi

Merasa ikut memiliki, merasa wajib membela. Sikap ini wajib dimiliki oleh setiap orang agar keadaan dan situasi terjaga dengan baik. Dengan merasa memiliki orang akan punya keinginan untuk menjaga dan melestarikan serta membela sesuatu yang menjadi miliknya. Sikap ini sangat tepat untuk ditanamkan kembali pada generasi ditengah-tengah keterpurukan bangsa. Bila generasi muda memiliki sikap ini mereka akan berupaya untuk turut berperan dalam memperbaiki kondisi bangsa dan tidak justru merusak citra bangsa.

15. Memayu hayuning bawana

Memayu berarti membuat selamat. Sedangkan bawana berarti bumi. Memayu hayuning bawana merupakan sikap dan tindakan untuk menjaga keselamatan dan kelestarian bumi. Sikap ini perlu ditanamkan pada semua orang, termasuk generasi muda agar kerusakan bumi dapat dicegah sehingga bumi tetap lestari. Bila bumi terjaga maka manusia juga terhindar dari bencana, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan sebagainya. Memayu hayuning bawana juga bisa diterjemahkan sebagai sikap dan tindakan menjaga keselamatan bumi dari segi ketenteraman dan kedamaian. Jika penghuni bumi ini saling bertengkar dan berperang maka bumi pun akan rusak.


PENUTUP

Secara umum nilai-nilai budaya Jawa yang menjadi pedoman masyarakat Jawa dalam proses pengasuhan anak memiliki makna bahwa anak merupakan titipan Tuhan yang harus dididik dengan baik agar mengetahui aturan-aturan budaya Jawa serta memiliki kepribadian yang baik. Aspek-aspek yang menjadi perhatian dalam penddidikan karakter adalah pembinaan nilai keagamaan, tata karma (sopan santun), ketaatan kepada orangtua, disiplin dan tanggung jawab, dan kemandirian.







DAFTAR PUSTAKA
Budiono Herusatoto, 2000, Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Irwanto, 2012, Psikologi Umum, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Franz Magnis Suseno. 2001. Etika Jawa Sebuah Analisis Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.


No comments: